Orang Tua Marah Bisa Mempengaruhi Anaknya Sendiri

Assalamualikum wr.wb.

Konnihciwa ( Selmat Siang)

   

Orangtua Marah dengan Berteriak, Anak Bisa Tumbuh Jadi Pembohong. Simak 6 Alasan Lainnya Agar Orangtua Jangan Berteriak pada Anak Ketika Marah

Tidak ada orangtua yang sempurna. Semua orang harus melalui proses untuk belajar bagaimana membesarkan anak. Namun, ada saat di mana orang tua merasa frustasi dengan perilaku anak mereka, sehingga mereka meluapkan kemarahan mereka dengan berteriak kepada anak. Perlu diketahui bahwa sikap ini bisa mengganggu perkembangan mental anak. Berikut adalah alasan kenapa orang tua dilarang berteriak pada anak.

ORTU MARAH DENGAN BERTERIAK, ANAK BISA TUMBUH JADI PEMBOHONG

Ketika sudah emosi, orangtua bisa menjadi tidak terkendali. Anak yang dianggap salah pun dimarahi dengan mengeluarkan teriakan. Perilaku ini ke depannya bisa berdampak buruk pada anak. Riset terbaru mengungkapkan apa saja dampak negatif dari memarahi anak dengan berteriak.  Mereka juga cenderung berperilaku negatif seperti tidak patuh di sekolah, berbohong, mencuri atau bahkan berkelahi.

PERKEMBANGAN EMOSIONAL

Salah satu alasan mengapa Anda tidak boleh berteriak pada anak adalah karena itu bisa mempengaruhi perkembangan emosionalnya. Anak membutuhkan dorongan positif, yang dapat membantunya percaya bahwa dia bisa meraih kesuksesan dalam hidup. Ini juga akan memberi mereka kesempatan untuk mengeksplorasi dan mencoba hal-hal baru. Berteriak tidak akan membuatnya patuh kepada kata-kata Anda. Sebaliknya, dia akan menjadi semakin nakal dan susah diatur.

MERASA TIDAK AMAN

Berteriak kepada anak bisa membuat mereka merasa takut dan tidak aman. Ini bisa menjadi pengalaman yang menakutkan bagi anak. Alhasil, anak akan selalu merasa tidak aman ketika Anda berada di dekatnya.

MENJADI PENDENGAR YANG BURUK

Seseorang harus belajar menjadi pendengar yang baik. Ketika seorang anak tumbuh dengan orang tua yang selalu berteriak kepadanya, dia juga akan belajar hal yang sama. Pada akhirnya, dia pun akan menjadi seorang pendengar yang buruk bagi orang lain.

MEMPENGARUHI KEPERCAYAAN DIRI

Rasa percaya diri seorang anak dibangun oleh orang tuanya. Dan berteriak kepada anak akan membuatnya kehilangan rasa percaya dirinya. Akhirnya, anak pun tidak berani melakukan apa pun, tanpa terlebih dulu meminta persetujuan orang tua mereka. Dalam hal ini, harga diri anak juga dipertaruhkan.

MASALAH PERILAKU ANAK

Sering berteriak di depan anak juga bisa mempengaruhi perilaku mereka. Anak-anak pun akhirnya menjadi mudah marah dan sering bersikap bandel di sekitar teman-teman mereka. Mereka juga menjadi sangat susah diatur dan sering melawan jika dinasihati.
Inilah lima alasan kenapa orang tua dilarang berteriak pada anak. Berikan anak kebebasan, tetapi Anda sebagai orang tua tetap harus memberi arah yang tepat bila mereka mulai tampak melenceng.

ANAK MENJADI PASIF

Menurut play terapist, Dra Mayke S Tedjasaputra Msi, keseringan memarahi anak di usia tumbuh kembang bisa berdampak pada dua hal. Pertama bisa menyebabkan anak menjadi pasif karena akan selalu memilih lebih baik diam daripada dimarahi, dan kedua bisa membuat anak malah memberikan respon melawan.

37 Kebiasaan orang tua yang menghasilkan perilaku buruk pada anak

1. Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak pun terdiam.
Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis? Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.”
2. Berbohong Kecil
Awalnya anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya, Mengapa? KArena mereka percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak beranjak besar, ia sudah tidak menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa yang terjadi? Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau ucapan-ucapan kita lagi?
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, “Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.” Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.
3. Banyak Mengancam
“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik,nanti MAma/Papa marah!”
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan
Apa yang sebaiknya kita lakukan? .
Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya. tatap matanya dengan lembut, namum perlihatkan ekspresi kita tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan. Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.” Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal “Sayang, bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. MAinan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati pernyataan kita dengan tindakan.
4. Bicara Tidak Tepat Sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!” atau “Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun kita lupa menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja yang kita inginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu yang baru. Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk mrmbuat orang tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah di hadapan orang tua).
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal2 atau tindakan2 yang kita inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara intensif hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih sayang atas segala usahanya untuk berubah.
5. Menekankan pada Hal-hal yang salah
Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang anak2nya tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau bahkan memarahi. Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada saat mereka bermain dengan akur? Kita seringkali menganggapnya tidak perlu menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang tuanya,
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal: ”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan sayang.
6. Merendahkan Diri Sendiri
Apa yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
7. Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress. Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain
Pada saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.
9. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi. Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!”
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik
Kehidupan metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin akrena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”
Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang pernah saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya yang seperti ini.
Apa yang sebaiknya kita lakukan? .
Apa pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang terbaik. Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kita dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras. Dalam kondisi kita sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis] sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis, “Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat harian kita.
14. Marah Yang Berlebihan
Kita seringkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik. Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat ya takut].
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi.
Satu contoh lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik kok.
15. Gengsi untuk menyapa
Kita pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.
Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya melihat anak laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus bandel” atau saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang “maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau bahkan ketika si anak memukul teman atau mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak sengaja…”
Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak kita akan mau bekerja sama selama kita selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.
17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya”.
Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan
Kita terbiasa hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar anak kita berubah total dalan jangka waktu sehari.
Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan pada hasilnya.
19. Pendengar yang buruk
Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya. Benarkah? Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
20. Selalu menuruti permintaan anak.
Apakah anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh open bar, atau mo apa aja boleh atau dituruti.
Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam sering disebut anak manja.
21. Terlalu Banyak Larangan
Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.
Seperti contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.
Jika kita emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.
23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita, yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.”
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.
24. Suka Membandingkan
Hal yang paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila kita sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman untuk berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!]
Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?
Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tiap manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya, “Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?”
25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak bau kencur, tau apa kamu soal hidup.” Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.
Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya lagi, bila orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang sering terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27. Kakak harus selalu mengalah
Di negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?
Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia pelakunya.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.
28. Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau sabetan.
Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
29. Menunda atau membatalkan hukuman
Kita semua tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker, impotensi, sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih banyak yang tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi ahli hisap? Jelas karena akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu juga.
Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila kita sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi harus dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.
30. Terpancing Emosi
Jika ada keinginannya yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah atau malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus berusaha mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar la gi.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
 bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
 Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.
32. Mengejek
Orang tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
33. Menyindir
Terkadang karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya dengan kata2 singkat yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”, atau “Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam yang jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan sejenisnya.
34. Memberi julukan yang buruk
Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.
Solusinya
Mengganti julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan terhadap permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat ini yang kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
 berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
 oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
 oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan?
 oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
Apa yang seharusnya kita lakukan?
 Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
 2, Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
 Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Hal ini secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas. Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?:
a. mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
b. Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
c. ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.

Alasan Orang Tua Marah pada Anak

Oke, jadi sebetulnya perilaku anak yang umumnya menjadi alasan orangtua untuk marah adalah perilaku yang wajar ya? Yes, tampaknya begitu. Lalu mengapa orangtua akhirnya menjadi marah walaupun semua anak lainnya berperilaku yang sama dengan anak mereka? Sebagian besar alasan orangtua kira-kira sebagai berikut:
  • Orangtua merasa takut.
Merasa takut apa? Takut anaknya jatuh, anaknya terluka, takut anaknya sakit, takut anaknya tidak bisa naik kelas, takut rumah menjadi kotor, dan seterusnya.
  • Orangtua sedang stres.
Sedang banyak pekerjaan, sedang ada masalah dengan keluarga, stres dengan pekerjaan rumah tangga sehingga takut bertambah cucian kotor/lantai kotor/makanan yang dimasak terbuang-buang, dan seterusnya.
  • Orangtua sedang lelah.
Lelah secara fisik seperti tidak cukup tidur, tidak cukup makan, pulang larut malam, dan lain-lain.
  • Orangtua ingin anaknya menjadi ideal.
Orangtua memiliki gambaran ideal mengenai anak, misalnya ingin anaknya jadi yang paling pintar, anak sudah bisa membaca di usia tertentu, anak terlihat rapi dan selalu enak dilihat, dan lain-lain.
 Jadi sebab orangtua marah (pada anak usia dini) umumnya adalah diri mereka sendiri. Karena belum bisa mengendalikan ekspektasi diri terhadap anak. Orangtua perlu memahami dulu sebab mereka terpicu emosi marahnya, apakah diri sendiri dalam kondisi yang baik? (fisik dan psikologis); atau apakah anak sedang butuh diarahkan (jika perilakunya bisa membawa kerugian pada diri mereka). Jadi, apakah marah perlu?
Tentu kita boleh merasa marah. Marah adalah bentuk emosi yang membawa manfaat pada diri, bermanfaat untuk membela diri, membentuk sikap perlawanan pada situasi yang dirasa tidak adil, serta memunculkan energi yang besar. Yang harus dilatih adalah cara ekspresi marahnya. Apakah anak sudah perlu tahu, bahwa orangtuanya sedang marah (baca: apakah anak sudah bisa memahami apa itu “marah” serta sebab dan akibatnya?). Hal-hal ini (sebab, akibat dan konsekuensi konteks/situasi) menjadi tujuan ekspresi marah yang efektif. Ekspresi marah orangtua menjadi efektif (dan konstruktif) jika ia bisa: membuat anak paham sebab mereka menjadi marah; membuat anak paham hal yang tidak baik dari situasi yang terjadi serta konsekuensi negatif yang mungkin muncul; serta membuat anak belajar/paham cara penyelesaian masalah yang sesuai bagi anak.


Akibat Orangtua Berlidah Kejam


Ada kalanya orangtua tidak menyadari bahwa kata-kata yang kejam memiliki kekuatan lebih hebat ketimbang palu godam sekalipun. Kendalikan ucapan Anda, bila tak ingin anak-anak mengalami luka batin hingga memengaruhi perkembangan mereka. Dari penampilan fisiknya, Rudy adalah pria yang sangat menarik. Tubuhnya atletis, wajahnya tampan dengan rambut hitam lebat. Dengan profesinya sebagai dokter dan mapan secara ekonomi, sempurnalah pria 46 tahun ini sebagai sosok idaman. 

Namun, di balik gambaran ideal itu, Rudy memiliki kekurangan yang sangat besar. Setiap kali berbicara, yang keluar hanya suara sangat lirih, sehingg pasien maupun lawan bicaranya sering kesulitan untuk mendengarkan ucapannya. “Saya sangat sensitif terhadap kata-kata orang lain. Saya selalu berpikir bahwa setiap orang pasti menertawakan saya. Sepertinya istri saya selalu mengejek saya, begitu juga pasien-pasien saya. Pada tengah malam saya selalu terbangun, lalu merenungkan setiap kata yang diucapkan orang-orang hari itu kepada saya,” cerita Rudy, yang sempat mengira dirinya sakit jiwa
.
 Ketika ditelusuri, di masa kecilnya ia selalu menjadi bahan ledekan atau ejekan ayahnya. Tanpa disadari oleh sang ayah, Rudy kecil memendam rasa malu yang luar biasa. Tak lain karena ia merasakan bahwa ledekan atau ejekan-ejekan sang ayah merupakan suatu hinaan. “Ayah sering menyebut saya ‘si cacing’ karena tubuh saya sangat kurus. Dia juga sering berkata bahwa saya bukan anaknya, melainkan anak yang dipungut dari tempat sampah,” kisah Rudy memelas. Dalam hati kecil Rudy sangat membenci ayahnya, sekaligus membenci dirinya sendiri karena merasa begitu buruk dan tak berguna. “Cacing dan tempat sampah adalah dua hal yang sama-sama menjijikkan,” tambah Rudy yang sedang menjalani terapi ini.     Kekerasan Verbal Boleh jadi orangtua yang menyebut anaknya “Si Goblok” atau “Si Biang Kerok” atau “Si Pengacau” atau “Si Lelet” dan sejenisnya menganggap semua itu sebagai hal biasa saja. Bahkan, julukan semacam itu mungkin diberikan dengan harapan anak yang bersangkutan menyadari kekurangannya.      Mungkin Anda tak pernah membayangan bahwa julukan buruk, sebutan negatif, komentar melecehkan, kritik yang bernada menghina, dan ungkapan yang merendahkan itu memberikan pesan yang luar biasa negatif kepada anak-anak tentang siapa diri mereka. Banyak anak yang mengalami kekerasan secara verbal (menggunakan kata-kata) menyangkut penampilan fisik mereka, kecerdasan, kemampuan, hingga nilai mereka sebagai manusia. Menurut DR. Susan Forward dalam bukunya Toxic Parents, kekerasan secara verbal disampaikan melalui dua gaya. Yang pertama menyerang anak secara langsung, terbuka, dan secara jahat merendahkan si anak. Contohnya adalah memberikan julukan-julukan seperti yang disebutkan di atas, termasuk menyebut si anak “tak berguna” atau yang paling keras adalah menyatakan “menyesal telah melahirkannya.” Semua itu memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan anak, dan memengaruhi citra diri mereka.   Kekerasan verbal juga bisa disampaikan secara tidak langsung, tetapi sangat menghinakan dan melecehkan mereka. Seringkali orangtua membungkus kekejamannya itu dengan nada humor atau canda yang sarkastis. Contohnya, “Lihat tuh kelakuan Si Jelek. Dia ‘kan dipungut dari rumah sakit. Kalau anak Mama Papa nggak kayak gitu deh....” Dan jika si anak atau anggota keluarga lain memprotesnya, orangtua akan membela diri dengan berkata, “Ah, ’kan cuma bercanda.” Orangtua semacam ini lupa bahwa anak-anak sangat mempercayai apa yang diucapkan oleh orangtuanya. Jika orangtua bilang si anak jelek dan bodoh, ia percaya dirinya betul-betul jelek dan bodoh. Karena itu, tidak mudah bagi mereka jika diharapkan mampu membedakan apakah ucapan ayah/ibunya itu serius atau hanya bercanda. Maksudnya Baik? Semua orang maklum bahwa kadang-kadang kita sebagai orangtua merasakan jengkel, kecewa, bahkan marah terhadap anak. Kalau mengikuti lirik lagu grup band Serieus: orangtua juga manusia, ayah juga manusia, ibu juga manusia. Kadang-kadang anak-anak memang sulit diatur, suka berbuat sesuka hati, mengotori rumah tanpa henti, prestasi di sekolah kurang bagus, maunya bermain melulu, kadang berantem, ada yang mulai belajar bohong, kamar tidurnya berantakan, dan sebagainya. Ditambah dengan beban pekerjaan dan urusan-urusan lain yang berat, semua perilaku anak itu kadang membuat orangtua tidak tahan. Ada saja orangtua yang memilih kekerasan verbal terhadap anak-anak dengan tujuan mendidik, dilandasi oleh maksud yang baik. Mungkin mereka tidak tahu bahwa tak akan pernah ada hasil yang baik jika proses untuk mencapai tujuan itu tidak baik. Maksud dan tujuan baik hanya akan terwujud baik jika dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Kekerasan fisik maupun verbal, bukanlah cara yang tepat dalam mendidik anak, kata DR. Forward. Ia bahkan menyebut “kejam”, jika ada orangtua yang tahu bahwa anak-anak sangat percaya pada ucapannya, tetapi tetap mengucapkan hal-hal yang dapat melukai perasaan anak. Bagaimanapun, anak juga manusia, punya rasa punya hati. Ucapan-ucapan bernada menghina dan merendahkan itu akan direkam dalam pita memori anak, makin lama makin bertambah dan dirasa berat, sehingga akhirnya anak memiliki citra diri negatif.     Mengganggu Perkembangan Citra diri yang negatif itu di kemudian hari menyebabkan anak tidak mampu tumbuh sebagai pribadi yang percaya diri. Anak akan memiliki rasa malu yang kuat, bersikap ragu-ragu, dan lebih suka menarik diri dari pergaulan. Seperti yang terjadi pada Rudy di atas. Meskipun sudah bisa membuktikan dirinya sebagai dokter dan dapat menghidupi keluarganya secara baik, ia tetap tidak percaya diri dan menyimpan perasaan malu luar biasa. Pada anak yang lain, citra diri negatif tersebut bahkan dapat membentuknya tumbuh sebagai pribadi pemberontak, kasar, bodoh, jorok, lamban, pengacau, dan sebagainya. Pendek kata, anak akan menampilkan diri sesuai dengan julukan yang diberikan kepadanya oleh orangtua. Anak-anak itu sangat percaya pada ucapan yang berkali-kali keluar dari mulut ayah ibu mereka. Dengan kata lain, jika kita sebagai orangtua mengharapkan anak-anak tumbuh sebagai pribadi yang baik, sehat, cerdas, berbudi luhur, tentu kata-kata, sikap, dan perilaku kita pun harus sesuai dengan harapan tersebut. Jika orangtua menampilkan diri sebaliknya, perkembangan anak-anak pun akan terganggu, tidak sesuai dengan harapan. Tidak mungkin kambing beranak kuda, bukan? Mari kita jaga lidah kita. Daftar Ucapan Kejam * Memberikan julukan negatif kepada anak, misalnya Si Dungu, Si Goblok, Si Lelet, Si Biang Kerok, Si Pemalas, Si Pengacau, Si Penipu, dan sebagainya. * Mengecilkan arti si anak, misalnya orangtua menyebut anak sebagai “tak berguna”, atau “percuma dilahirkan”.   * Memberikan kesan bahwa si anak tidak diharapkan, misalnya dengan menyebutnya sebagai “anak pungut” atau “diambil dari rumah sakit” atau “diambil dari tempat sampah” atau menyatakan bahwa “nggak mungkin anak Papa Mama” dan sebagainya. * Menganggap anak sebagai sumber kesialan, dengan berkata, “menyesal sudah melahirkan.” * Melecehkan kemampuan anak, seperti, “Ah, mana mungkin dia bisa?” atau, “Sudahlah, kamu ngerti apa....” atau, “Aku jamin kamu pasti gagal...” Kadang juga lebih halus, “Pengen deh lihat kamu berhasil, tetapi itu mustahil....” 

Cara Menghadapi Orang Tua Yang Egois Menurut Islam


Cara Menghadapi Orang Tua Yang Egois Menurut Islam - Terkadang sebagai anak mungkin kita sering merasa diperlakukan tidak adil oleh orang tua baik itu ayah maupun ibu, ini itu dilarang dan mereka seperti maunya menang sendiri atau EGOIS. Seperti misalnya ketika kita ingin memilih sekolah ini tapi orangtua mengharuskan ke sekolah itu atau dalam hal pernikahan, ketika kita ingin menikah dengan pasangan pilihan kita tetapi orangtua memaksa untuk menikah dengan pasangan pilihan mereka dan masih banyak contoh yang lainnya. Sangat menjengkelkan memang dan rasanya pasti ingin memberontak. 

Namun satu hal yang perlu anda sadari adalah bahwa mereka merupakan orang tua kandung anda yang telah melahirkan, membesarkan serta mendidik anda sampai seperti sekarang ini. Jadi sudah menjadi kewajiban kita sebagai anak untuk selalu menghormati dan berbakti kepada orang tua. 

Apalagi islam sendiri sudah menjelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Isra' ayat 23 yang artinya :

"Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah', janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."
Bukan hanya dalam Al-Qur'an, dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam pun banyak yang menjelaskan hal tersebut seperti HR. Bukhari & Muslim yang menyatakan bahwa :
"Amalan yang paling dicintai oleh Allah Swt adalah Shalat pada waktunya, Berbakti kepada kedua orang tua, dan Jihad di jalan Allah SWT."
Serta HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah yang berbunyi :
"Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya."

Terkait sifat orang tua yang mungkin kita rasa egois atau maunya menang sendiri, kita tidak boleh langsung menilai hal tersebut secara semena-mana hanya dari satu sisi saja, kita harus benar-benar tahu apa maksud dan tujuan orang tua melakukan hal tersebut. Karena saya yakin jika setiap orang tua pasti mengharapkan yang terbaik bagi anaknya. 

Apakah anda tetap akan menilai orang tua egois jika mereka mengarahkan kita ke hal-hal yang baik? Walaupun memang terkadang dalam cara penyampaiannya yang berbeda dengan cara pemahaman kita sehingga sering terjadi kesalahpahaman, disinilah perlu adanya komunikasi yang baik antara anak dan orangtua. Jadi ketika ada masalah cobalah untuk merundingkannya secara baik-baik dengan kepala dingin. 

Ciri-ciri Orang Tua Egois


Ciri-ciri Orang Tua Egois
Namun tidak dipungkiri bahwa pasti tetap saja ada orang tua yang memang sudah wataknya egois, suka memaksa, kasar, keras kepala dan suka marah-marah pada anaknya. Sebelum ke solusi cara menghadapi orangtua yang egois menurut agama islam, mari kita pahami terlebih dahulu apa saja ciri-ciri orang tua egois itu! Dan berikut beberapa diantaranya :

1. Arogan atau suka menang sendiri
Ciri-ciri orang tua egois yang pertama yaitu suka bersikap arogan dan maunya menang sendiri. Mereka biasanya akan selalu menganggap diri mereka paling benar dalam segala hal dan pastinya tidak mau dianggap salah apalagi oleh anaknya.

2. Suka mencari kesalahan anak
Ini biasanya dilakukan dalam rangka untuk mendukung pendapat atau keinginan mereka. Ketika posisi anak sudah selalu salah tentu saja sang anak harus mau menuruti keinginan mereka. 

3. Tidak memberi kebebasan pada anak
Apa yang dilakukan oleh anak akan dibatasi, melakukan ini dan itu harus mendapat persetujuan mereka bahkan akan cenderung over posesif. Padahal bila orangtua terlalu mengekang anak dan membatasinya dalam segala hal justru akan membuat anak kurang bisa mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. 

4. Tidak mau mendengarkan pendapat dan keinginan anak
Hal ini masih ada kaitannya dengan poin nomor satu, jika sudah maunya menang sendiri tentu saja akan sulit untuk mendengarkan pendapat atau keinginan anak, apalagi jika itu bertentangan dengan keinginan mereka. Mereka mungkin baru akan mendengarkan jika sesuai dengan apa yang mereka inginkan. 

5. Kurang peka dan tidak terlalu memikirkan perasaan anak
Ciri-ciri orangtua egois lainnya adalah biasanya mereka kurang peka dan tidak begitu memikirkan perasaan anaknya. Perasaan anak mungkin akan menjadi hal nomor sekian, karena yang paling utama bagi mereka adalah apa yang menjadi keinginannya harus dituruti oleh anak. 

Baca juga : 18 Kesalahan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Yang Sering Dilakukan

Tidak bisa dipungkiri bahwa sifat-sifat tersebut diatas sering kali menjadi salah satu pemicu terjadinya pertengkaran dan rusaknya hubungan antara orangtua dan anak. Seperti yang sering kita lihat di berita televisi atau media tentang kasus tuntutan hukum, penganiayaan bahkan pembunuhan orang tua yang dilakukan oleh anaknya sendiri. Tentu saja hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang sangat tidak diinginkan. 

Cara Menghadapi Orang Tua Yang Egois Menurut Islam


Cara Menghadapi Orang Tua Yang Egois Menurut Islam

Lalu bagaimana sebenarnya cara menghadapi orang tua yang egois menurut islam? Supaya kita tetap bisa menjaga perasaan mereka dan tidak dianggap sebagai anak durhaka? Karena seperti kita tahu anak yang durhaka kepada orangtua termasuk salah satu dosa besar. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk menghadapi orang tua yang sering bersikap egois dan menyakiti perasaan kita dan berikut diantaranya :

1. Bersabar
Yang pertama tentu saja anda sebagai seorang anak harus bisa bersabar dalam menyikapi orang tua yang egois, jagalah selalu mulut, tangan dan anggota tubuh lain dari hal-hal yang bisa menyakiti mereka. Ingatlah dengan ayat Al-Qur’an serta hadits yang ada diatas tadi karena itu merupakan tuntunan hidup yang paling benar dari Sang Pencipta.

Tentunya pernah dengar perkataan “Orang sabar disayang Tuhan” kan? Yakinlah bahwa kesabaran yang kita lakukan dalam hal kebaikan tidak akan pernah sia-sia dan pasti akan dibalas dengan pahala yang berlimpah oleh Alloh SWT. 

2. Tunjukan selalu ahlak yang mulia
Seperti yang sudah disebutkan dalam ayat Al-Qur’an tadi bahwa kita dianjurkan untuk memuliakan mereka, berkata lembut dan sopan jangan membentak. Karena dengan ahlak mulia yang selalu kita tunjukan kepada mereka nantinya akan bisa membuat mereka luluh dan menyayangi kita.

Balaslah setiap perbuatan mereka yang mungkin telah menyakiti hati kita dengan perbuatan yang baik, jangan membalasnya dengan hal yang sama. Karena perbuatan yang tidak baik sangat tidak dianjurkan untuk di balas dengan perbuatan tidak baik juga. Ketika kita membalasnya dengan hal yang baik justru bisa saja akan membuat luluh hati orangtua kita. 

3. Berikan hadiah atau oleh-oleh
Sesekali anda juga bisa memberikan hadiah atau oleh-oleh sebagai bentuk perhatian kepada mereka, supaya orang tua senang dan lunak dengan kita. Tunjukanlah perhatian yang tulus pada mereka kalau mereka adalah orang yang berharga dalam kehidupan anda. 

4. Hindari perdebatan
Usahakan untuk menghindari berbagai perdebatan yang mungkin terjadi, diam akan lebih baik dibanding harus membantah atau menjawab perkataan orang tua. Kecuali memang kalau ada hal yang bertentangan dengan ajaran islam, maka kita harus berusaha menolaknya dengan tutur kata atau tindakan yang lembut dan penuh kesopanan. 

5. Berikan nasihat
Jangan pernah bosan untuk selalu memberikan nasihat kepada orang tua yang sesuai dengan Al-Qur’an, sunnah atau perkataan para ulama. Cara menghadapi orang tua yang egois menurut islam yang satu ini ketika dilakukan dengan penuh harapan dan kasih sayang diharapkan nantinya hati mereka akan tersentuh. Para nabi pun telah memberikan contoh kepada kita akan hal ini, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam yang tidak pernah bosan memberikan nasihat kepada ayahnya agar beriman kepada Allah SWT. 

6. Patuhi perintah orang tua
Mematuhi perintah orang tua adalah hal yang wajib terutama untuk hal-hal yang halal, sunnah atau mubah, kecuali jika mereka memerintahkan hal yang dosa seperti bid’ah, maksiat atau kesyirikan maka kita wajib menolaknya dengan cara yang baik dan sopan. Jangan hanya karena mereka bersikap egois sehingga menjadikan kita melawan atau membangkang pada orangtua, jangan pernah seperti itu! 

7. Ajak mereka ke majelis ilmu
Kalau memungkin ajaklah mereka ke berbagai majelis ilmu seperti pengajian atau hal yang lainnya. Kalau tidak bisa anda bisa membawakan rekaman kaset, video atau buku tentang ajaran islam yang baik. Undang lah teman atau saudara yang baik untuk ikut mendengarkan supaya diharapkan akan bisa memberi pengaruh positif bagi orang tua. Karena memang biasanya orang tua akan lebih bisa menerima nasihat dari orang lain dibanding dari kita anaknya. 

8. Cobalah untuk diam
Diam yang dimaksud disini adalah tidak melawan atau menjawab apa yang orantua katakan, hal ini untuk menghindari perkataan-perkataan yang tidak pantas muncul yang justru akan memperkeruh suasana. Namun perlu diingat, diam ini bukan mendiamkan dalam segala hal atau memutus komunikasi, tapi hanya diam ketika memang orang tua sedang bersikap egois dan berkata yang tidak sesuai keinginan kita sebagai anak. Ketika dalam hal-hal lain bersikaplah seperti biasa, jangan pernah membenci orangtua. 

9. Berikan senyuman kepada orangtua
Pastinya sudah tahu kan kalau senyum adalah ibadah? Dengan senyuman pula akan membuat orang yang melihatnya merasa senang dan nyaman. Dengan memberikan senyuman kepada orangtua diharapkan akan bisa meluluhkan hati mereka. Walaupun mungkin kita sudah dibuat sakit hati namun kita tetap harus memuliakan mereka dan jangan sampai membuat mereka marah, karena murka orangtua juga merupakan murka Alloh SWT. 

10. Kasih tahu orangtua tentang dalil-dalil agama
Cobalah untuk memberitahu mereka tentang dalil-dalil agama baik dari Al-Qur’an atau Hadits secara baik, terutama yang berkaitan dengan sikap egois. Jika belum bisa mengungkapkan langsung didepan mereka cobalah untuk memberitahu melalui pesan lewat handphone. Walaupun mungkin orangtua nantinya tidak mempedulikan, paling tidak kita sudah berusaha. 

11. Ajak Orangtua Liburan
Buat lah orangtua merasa senang dan alah satunya yaitu dengan mengajak mereka liburan. Daripada harus selalu berselisih paham bukankah akan lebih baik jika kita membuat hati orangtua senang dan bahagia? Tak perlu tempat-tempat yang mewah atau mahal, cukup tempat yang sejuk dan nyaman seperti pantai atau tempat wisata alam lainnya. Suasana yang sejuk dan nyaman tentu saja akan membuat pikiran menjadi lebih terbuka, sehingga kita bisa membicarakan hal-hal yang ingin kita diskusikan, usahakan untuk pelan-pelan dan tidak to the point. Karena kalau langsung ke permasalahan dikhawatirkan justru akan merusak suasana. 

12. Ajak Berdiskusi di Waktu yang tepat
Segala permasalahan akan lebih baik jika diselesaikan secara musyawarah atau diskusi. Namun kita harus pandai-pandai memilih waktu yang tepat, jangan ketika mungkin orangtua sedang capai atau banyak pikiran malah kita mengajaknya berdiskusi, bukannya akan menyelesaikan masalah yang ada malah bisa menambah masalah. Jadi pilihlah waktu yang tepat untuk melakukannya. 

13. Minta bantuan orang lain
Cara berikutnya yang bisa kita lakukan dalam menghadapi orang tua yang egois adalah dengan meminta bantuan orang lain, terutama orang yang disegani oleh orang tua kita atau orang yang selalu didengar pendapatnya oleh mereka seperti kakek nenek kita, ustadz atau yang lainnya. Ungkapkan lah apa yang kita rasakan diskusikan dengan baik dengan orang-orang tersebut. Sehingga mereka benar-benar tahu permasalahan kita sehingga nanti bisa mendiskusikannya secara baik dengan orangtua kita. 

14. Minta izin untuk keluar rumah
Apabila anda mungkin sudah tidak sabar menghadapi perilaku orang tua yang egois, anda bisa meminta izin kepada mereka untuk keluar rumah. Carilah jalan atau alasan yang baik usahakan jangan membohongi mereka, hal ini bukan dimaksudkan untuk kabur atau gimana melainkan supaya mereka bisa merindukan kita. Jangan jadikan perpisahan tersebut untuk menjauhi mereka melainkan jadikanlah untuk bisa membanggakan mereka nantinya. 

15. Berdoa
Cara menghadapi orang tua yang egois menurut islam selanjutnya adalah berdoa. Doa inilah hal yang harus selalu kita lakukan, karena hanya Allah SWT lah yang bisa membolak-balikan hati seseorang. Mohonlah kepada-NYA untuk memberi hidayah dan menunjukan jalan yang lurus kepada orang tua anda. 

Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah seburuk apapun sikap mereka, tetaplah untuk menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, jangan pernah menyakitinya. Terkadang saya merasa miris melihat berbagai kasus yang sering terjadi seperti ada anak yang sampai tega membunuh orang tuanya atau menuntut orang tua sampai ratusan juta rupiah ke pengadilan. Dimana sebenarnya hati nurani mereka? Apa mereka tidak ingat dari mana mereka dilahirkan dan dibesarkan, bahkan ibu kita sampai menaruhkan nyawanya saat melahirkan kita ke dunia. 

Keutamaan Berbakti Kepada Orang Tua


keutamaan berbakti kepada orang tua
Keutamaan berbakti kepada orang tua

Selain itu yang harus kita tahu adalah banyak Faedah Keutamaan Berbakti Kepada Orang Tua yang sudah dijelaskan dalam agama islam seperti :

  • Akan menjadi jalan dikabulkannya doa
  • Menjadi sebab dihapusnya dosa besar
  • Pemberi keberkahan dan bertambahnya rezeki
  • Diterimanya suatu amalan
  • Sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat

Jadi renungkanlah berbagai keutamaan-keutamaan tersebut. Apakah masih ada penghalang untuk kita berbakti kepada orang tua? Sayangi dan selalu muliakan lah kedua orang tua kita Karena kita akan sangat merugi kalau sampai menyia-nyiakan orang tua yang masih hidup, jangan sampai terjadi penyesalan ketika mereka sudah tiada.

Untuk anda yang mungkin orangtua nya sudah tiada, ingatlah untuk selalu mendoakannya disetiap shalat dan sujud kita, karena salah satu dari 3 hal yang pahalanya akan selalu mengalir terus selain amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat adalah doa dari anak yang sholeh. 

Komentar

Postingan Populer